Silahkan klik daerah yang anda inginkan untuk mengetahui waktu setempat

Jumat, 05 Maret 2010

Cerita seorang ayah single parents

 Ini ada cerita dari seorang teman
Empat tahun yang lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering
 aku bertanya-tanya, bagaimana keadaan istri saya sekarang di alam
 surgawi, baik-baik sajakah?
 Dia pasti sangat sedih karena sudah meninggalkan seorang suami yang tidak
 mampu mengurus rumah dan seorang anak yang masih begitu kecil. Begitulah yang kurasakan, karena selama ini saya merasa bahwa saya
 telah gagal, tidak bisa memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani anak
 saya, dan gagal untuk menjadi ayah dan ibu untuk anak saya. Pada suatu
 hari, ada urusan penting di tempat kerja, aku harus segera berangkat ke
 kantor, anak saya masih tertidur. Ohhh... aku harus menyediakan makan
 untuknya. Karena masih ada sisa nasi, jadi aku menggoreng telur untuk dia makan.
 Setelah memberitahu anak saya yang masih mengantuk, kemudian aku
 bergegas berangkat ke tempat kerja.
 Peran ganda yang kujalani, membuat energiku benar-benar terkuras.
 Suatu hari ketika aku pulang kerja aku merasa sangat lelah, setelah bekerja
 sepanjang hari. Hanya sekilas aku memeluk dan mencium anakku, saya
 langsung masuk ke kamar tidur, dan melewatkan makan malam. Namun, ketika aku merebahkan badan ke tempat
 tidur dengan maksud untuk tidur sejenak menghilangkan kepenatan,
 tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang pecah dan tumpah seperti cairan
 hangat! Aku membuka selimut dan..... disanalah sumber 'masalah'nya ...
 sebuah mangkuk yang pecah dengan mie instan yang berantakan diseprai
 dan selimut!
 Oh...Tuhan!

Ayah, aku rindu main dengan mu

William adalah Manager di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Jhon, putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia nampaknya sudah menunggu cukup lama.
“Kok, belum tidur?” sapa William sambil mencium anaknya.
Biasanya, Jhon memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Jhon menjawab, “Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?”
“Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja.”
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja, Jadi, gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?”